Tak banyak orang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya demi
membantu sesama. Terlebih jika membantunya di tempat-tempat pengungsian, baik di dalam maupun luar negeri,
baik di tempat pengungsian akibat bencana maupun tempat pengungsian akibat
konflik. Dibutuhkan mental yang tangguh berada di tempat tersebut. Akan tetapi,
pada dasarnya setiap orang dapat berbuat baik membantu sesamanya meski cara dan
jalan yang dilakukan berbeda.
Eko sedang mendistribusikan bantuan daging Qurban di lokasi pengungsian Al-Adala,
Mogadishu, Somalia, 15 November 2012
|
Menjadi sukarelawan kemanusian merupakan panggilan jiwa. Salah
seorang yang terpanggil untuk menjadi sukarelawan kemanusian ialah Eko
Sulistio. Pria kelahiran Yogyakarta, 44 tahun silam ini telah menapaki tempat-tempat
pengungsian di berbagai negara, seperti tempat pengungsian akibat bencana
kelaparan di Somalia.
Hobby pencinta alam sejak SMA menjadi fondasi yang kuat bagi Eko untuk
menjadi sukarelawan kemanusiaan. Kecintaannya terhadap alam tumbuh sejak duduk
di bangku SMA N 3 Jakarta. Ia bahkan pernah menjadi Ketua Sabhawana, organisasi
pencinta alam di sekolahnya tahun 1991. Melanjutkan kuliah pada Jurusan Pendidikan
Geografi UNJ makin menambah wawasannya tentang interaksi manusia dengan
lingkungan. Bagi Eko, interaksi dengan lingkungannya diwujudkan dengan membantu
sesama. Semasa kuliah Eko mulai aktif terlibat dalam pencarian dan evakuaasi
pendaki yang hilang atau tersesat di gunung.
Tsunami Aceh Menumbuhkan Spirit Kemanusiaan
Gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004 menjadi awal mula bagi Eko
untuk menjadi sukarelawan kemanusiaan secara total. Saat itu, suami dari
Nurvitasari ini merupakan seorang wirausahawan wisata alam terbuka, salah
satunya ialah kegiatan simulasi tempur yang diberi nama Spirit Paintball. Lokasi
Spirit Paintball ada di beberapa tempat, antara lain Cibubur, Citarik, Anyer,
dan Purwakarta.
Saat peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 Eko dihubungi oleh temannya
yang menanyakan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan jika akan mendirikan
posko kemanusiaan. Sebagai orang yang paham tentang kegiatan alam terbuka dan
tanggap bencana tak sulit bagi Eko memberikan daftar barang dan perlengkapan
yang diminta temannya. Sayangnya, teman Eko tak tahu harus membeli di mana
barang-barang perlengkapan tersebut. Eko pun kemudian menawarkan membeli
barang-barang tersebut melalui dirinya. Oleh karena berbagai hal, Eko diminta
sekalian mengantar barang-barang tersebut ke Aceh. Eko pun menyanggupinya meski
ia tahu sebenarnya jadwal penerbangan ke Aceh sedang tak menentu.
Sebagai bentuk tanggung jawab dengan berbagai upaya dilakukan Eko hingga
akhirnya barang-barang tersebut sampai di Bandara Aceh. Sayangnya, begitu
barang-barang sampai, tim relawan yang dibentuk oleh teman Eko tak jelas
kelanjutannya. Saat menghubungi temannya yang memesan barang tersebut Eko
diminta meninggalkan barang-barang di Bandara. Mendengar jawaban dari temannya seperti itu membuat pikirannya
menjadi berkecamuk. Satu sisi ia mendapat keuntungan dari hasil pembelian
barang-barang tersebut, sementara di sisi yang lain ia merasa keuntungan yang
didapat tak layak karena barang-barangnya tak jelas peruntukannya.
Ayah dari satu putra dan dua putri ini kemudian menyempatkan diri
melihat-lihat kondisi daerah yang terkena dampak tsunami. Seperti yang ia
ceritakan, pemandangan di sekitarnya ialah kehancuran lingkungan dan korban
jiwa yang masih tergeletak di mana-mana.
Saat itulah spirit dan jiwa kemanusiaan yang telah ia pupuk sejak SMA
makin tumbuh untuk turut terlibat langsung mengevakuasi korban. Akan tetapi,
melihat kondisi Aceh yang porak-poranda sementara persiapan hanya untuk
keperluan mengantar barang, Eko pun kembali ke Jakarta. Eko menyampaikan
keinginannya kembali ke Aceh untuk membantu
evakuasi korban jiwa kepada istrinya.
“Bunda, kita dapat uang ini dari orang-orang itu,” kata Eko kepada
istrinya saat menonton tv yang tengah menyiarkan kondisi Aceh. Sebagai istri,
Vivi tahu betul spirit kesukarelawanan sang suami. Eko pun mendapat restu dari
sang istri untuk berangkat ke Aceh.
Segala perbekalan pribadi siap, tetapi Eko merasa perlu bergabung
dengan organisasi atau lembaga yang memiliki kredibilitas selama di Aceh. Hal
itu menjadi pertimbangan agar selama di Aceh ia benar-benar bekerja untuk
kemanusiaan. Eko terus mencari informasi adanya lembaga atau organisasi yang
akan berangkat ke Aceh. Bak gayung bersambut, sebuah BUMN menghubungi dan mengundangnya
untuk memaparkan kondisi Aceh pasca tsunami karena BUMN tersebut akan melakukan
misi kemanusiaan di Aceh. Eko pun akhirnya bergabung dengan tim kemanusiaan
BUMN tersebut. Eko merupakan satu-satunya relawan yang bukan karyawan BUMN itu.
Eko juga diberi kepercayaan pengadaan barang-barang yang diperlukan.
Tak perlu waktu lama bagi Eko untuk menyediakan segala
perlengakapan yang dibutuhkan. Ia kemudian menghubungi kenalannya pemilik toko
aneka perlengkapan besar di Jakarta. Transaksi pun dilakukan. Barang-barang
sesuai catatan pembelian diterimanya dan
Eko pun membayar sesuai harga yang diberikan.
Ternyata ada bagian yang sangat mengharukan bagi Eko saat itu,
bahkan ia sempat menitikkan air mata ketika menceritakan kembali kisahnya
kepada saya pada Rabu malam (3/5). Uang pembayaran yang telah diserahkan ternyata
diberikan kepadanya oleh pemilik toko untuk uang operasional selama di Aceh.
“Haru.
Menitikkan air mata. Tak dapat berkata-kata. Itulah yang Ane rasakan saat itu,
ya seperti sekarang ini,” cerita Eko yang sempat terputus kata-katanya.
“Jadi,
sebenernya ada orang yang mau membantu korban tsunami Aceh, tetapi tidak tahu
harus bagaimana. Seperti itulah yang Ane temui setelah Ane kembali nganter
barang dari Aceh itu. Itulah yang makin membulatkan tekad Ane untuk berangkat
ke Aceh,” lanjutnya menceritakan.
Menapaki Dunia demi Kemanusiaan
Eko bersama timnya sudah berpengalaman membantu evakuasi korban
bencana, baik di dalam maupun luar negeri. Tak sedikit biaya operasional berasal
dari kantong pribadinya. Akan tetapi, itu semua tak ada artinya bagi pria yang
memiliki kegemaran maraton dan naik gunung ini jika dibandingkan dengan
ketenangan hati dan jiwanya setelah membantu sesama.
Bersama tim relawan yang dimilikinya Eko bergabung dengan lembaga kemanusiaan
nasional PKPU saat terjun ke daerah bencana. Eko memang sukarelawan ahli bidang
kebencanaan (disasters) di PKPU. Eko bahkan
pernah diganjar dengan PKPU Award sebagai Relawan
Rescue tahun 2015.
Evakuasi korban bencana di dalam negeri yang pernah dilakukan
Eko bersama timnya, antara lain evakuasi korban letusan Gunung Merapi (2010), kecelakaan
Pesawat Sukhoi di Gunung Salak (2012), banjir Jakarta (2014), tanah longsor
Banjarnegara (2014), pencarian pesawat AirAsia di Selat Karimata (2015), dan misi
kemanusiaan gempa bumi Aceh (2016).
Evakuasi korban letusan G. Merapi (2010) |
Selama di Aceh Eko menjalin hubugan dengan organisasi kemanusiaan dari
berbagai negara. Salah satu organisasi kemanusiaan dunia yang kemudian menjalin
hubungan dengan Eko adalah Lazarus Human Aid dari Finlandia. Setelah misi
kemanusiaan BUMN di Aceh selesai, Eko kemudian bergabung dengan Lazarus Human
Aid untuk melanjutkan membantu evakuasi dan kegitan kemanusiaan lainnya.
Evakuasi korban jatuhnya Sukhoi di G. Salak, Bogor (2012) |
Kini misi kemanusiaan Eko dilakukan bersama Kwartir Nasional
Pramuka. Seragam Pramuka selalu dikenakannya setiap mengemban tugas kemanusian.
Seragam Pramuka membuat Eko lebih mudah dalam menjejakkan kaki di daerah
pengungsian di luar negeri. Misi kemanusiaan Eko di luar negeri, antara lain
saat gempa Turki (2011), bencana kelaparan Somalia (2012), pengungsian akibat konflik
saudara di Myanmar (2013), bencana topan hayan di Filipina (2013), jalur Gaza,
Palestina (2014), gempa Nepal (2015), kerusuhan bernuansa SARA di Myanmar
(2016), dan bencana kelaparan di Somalia (2017).
Bersama pengungsi Kaamil di Mogadishu, Somalia akibat
bencana kelaparan dan kekeringan serta konflik sosial (2017)
|
Spirit Paint Ball, Gratis untuk Anak-anak Yatim
Salah satu pengalaman yang menginspirasi Eko sehingga makin
antusias untuk berbagi ialah saat dirinya menjalankan misi kemanusiaan di
Turki. Saat itu di bandara di Turki ia dijemput seorang relawan. Eko
menyampaikan kepada penjemputnya bahawa ia harus berbelanja berbagai kebutuhan,
baik pribadi maupun untuk kebutuhan pertolongan.
Eko dibawa ke sebuah toko yang sangat besar. Selesai belanja dan
saat akan melakukan pembayaran Eko langsung diajak berangkat tanpa membayar
belanjaan. Eko sempat bingung dan menanyakan kenapa tidak membayar. Ternyata,
orang yang mengemudikan kendaraan penjemput Eko ialah pemilik toko tersebut.
Betapa kaget dan terharunya Eko. Orang tersebut juga menceritakan bahwa pada
hari tertentu ia mengajak anak-anak yatim ke tokonya agar dapat menikmati
berbagai barang, terutama makanan secara gratis. Pengalaman tersebut
menginspirasi Eko untuk menggratiskan permainan paintball usaha miliknya bagi
anak yatim dan kaum dhuafa setiap hari Senin dan Kamis. Selain itu, sebagian
besar keuntungan dari wirausaha keluarga yang dikelola istrinya itu digunakan
untuk kegiatan kemanusiaan.
Bermain paintball gratis untuk anak-anak yatim setiap Senin dan Kamis |
Cerita panjang spirit kesukarelawanan dan
kemanusiaan Eko menyiratkan bahwa berbuat kebaikan demi kemanusiaan dapat
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan seberapa pun besarnya.
“Tak perlu juga harus seperti saya untuk bisa membantu orang lain,” kata Eko
menutup ceritanya.
*Foto-foto: Dokumentasi Eko Sulistio
No comments:
Post a Comment