Pages

Monday, April 30, 2012

Buku Membawa Saya Keliling Dunia, tanpa Paspor dan Visa


Saya lupa, kapan tepatnya pertama kali saya berkenalan dengan sebuah buku. Saya hanya ingat  jenis buku yang pertama kali saya kenal itu. Bukan buku bacaan, tetapi buku mewarnai. Buku itu ukurannya kira-kira 13cm x 26 cm dan jumlah halamannya sekitar 16. Saya belum masuk taman kanak-kanak saat pertama kali mengenal buku itu. Buku itu berisi beberapa gambar warna-warni dan hitam putih. Model gambar yang warna-warni itu sama dengan model gambar yang hitam putih. 


Gambar yang saya ingat, yaitu gambar itik, kura-kura, mobil, dan pesawat terbang. Setiap gambar ada yang warna-warni dan ada yang hitam putih. Gambar yang hitam putih tentu dimaksudkan untuk diwarnai oleh anak-anak seusia saya waktu itu. Buku semacam itu kini pasti dapat kita temui di mana-mana. Di pinggir jalan kota-kota besar buku semacam itu banyak dijual oleh pedagang kaki lima. Kita mengenalnya dengan sebutan “buku mewarnai.”

Saat itu buku tersebut tentu menjadi barang yang sangat istimewa buat saya. Saya tidak pernah berpikir dan menyadari bahwa buku yang hanya 16 halaman semacam itu ternyata memberi manfaat yang luar biasa bagi saya. Saya jadi bisa mengenal warna, mengenal bentuk, mengenal binatang, dan mengenal bermacam-macam benda. Ya, buku yang hanya 16 halaman itu ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa buat saya. Kekuatan buku yang hanya 16 halaman itu bahkan melebihi kekuatan buku yang diisi bom sekali pun, seperti yang meledak di kawasan Utan Kayu pada Selasa 15 Maret 2011 yang lalu. Jika buku yang di Utan Kayu hanya meledak sekali saja, buku yang hanya 16 halaman itu justru dapat meledak berkali-kali, bersamaan dengan meledaknya keinginan saya untuk menulis buku. Sayangnya, saat ini saya tidak tahu ada di mana keberadaan buku itu.

Menulis menjadi kegemaran saya sejak SD, terutama saat pelajaran mengarang (menulis cerita). Satu halaman kertas ukuran folio selalu penuh. Lagi-lagi, karena tidak terpikirkan akan manfaat tulisan-tulisan itu, entah sudah berada di mana lembaran-lembaran hasil tulisan saya itu sekarang ini.

Kegemaran menulis berlanjut hingga saya SMA, bahkan saya ikut kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik. Saya juga pernah mengikuti lomba karya tulis nasional tingkat SMA -meski pun tidak menjadi juara. Waktu itu yang ada dalam benak saya hanyalah ingin mencurahkan segala yang terpikirkan ke dalam bentuk tulisan.

Namun, saat kuliahlah saya baru mengerti dan merasakan betapa sebuah tulisan memberi makna, arti, kesan, atau apa pun namanya yang berbeda-beda bagi setiap orang yang membacanya. Satu kata kadang-kadang bisa menjadi bermacam makna bagi banyak orang. Letak satu tanda baca bisa memberi arti yang berbeda bagi setiap orang.

Bangku kuliah menjadi tempat yang baru bagi saya untuk belajar mengolah dan menyusun kata. Membuat karya tulis untuk bahan diskusi perkuliahan menjadi semacam laboratorium bahasa dalam otak saya. Saya juga sering beradu argumen atas karya tulis kawan-kawan saya. Bahkan hal yang sepele sekali pun: peletakan tanda baca. Akan tetapi, menurut saya yang sepele-sepele itu ternyata dapat memicu terjadinya kesalahpahaman atau perbedaan interpretasi atas sebuah tulisan. Saya sendiri tidak tahu, kenapa saya sangat suka mendiskusikan kalimat-kalimat karya tulis kawan-kawan saya dari pada mendiskusikan materi yang ditulisnya. Saking seringnya “hanya” membahas tanda baca, setiap berdiskusi saya seakan menjadi mahasiswa yang diharapkan tidak datang kuliah he…he….he…

…. Sampai akhirnya, setelah lulus kuliah saya dikutuk menjadi orang yang kerjanya sepanjang hari selalu membaca tulisan orang lain. Ya, sekarang saya bekerja sebagai penyunting naskah -bahasa kerennya sih editor- he…. Editor buku pelajaran sekolah tepatnya, khususnya buku pelajaran geografi. Saya sangat menikmati pekerjaan ini. Banyak sekali manfaat yang saya dapatkan dari pekerjaan sebagai editor buku ini. Manfaat yang paling menyenangkan, yaitu saya dapat berkeliling dunia dari satu buku yang saya kerjakan. Ya, berkeliling dunia, bahkan tanpa harus punya paspor dan visa! Tentu sangat mangasyikkan! Waktunya pun terserah saya, kapan saya memulai perjalanan, negara mana yang pertama kali harus saya kunjungi, dan negara mana saja yang akan saya kunjungi. Padahal, saat memakai paspor saya hanya dapat pergi ke dua negara tujuan selama seminggu, Malaysia dan Singapura. Itu pun karena ada yang nraktir …he…he…

Namun, untuk memudahkan saya selalu membuat terlebih dahulu rencana jalur perjalanan. Saya selalu mengawali dari negara-negara yang ada di Benua Asia kemudian dilanjutkan ke Benua-benua Australia, Eropa, Amerika, dan Afrika. Kalaupun tidak semua negara saya kunjungi, tetapi pasti setiap benua ada satu sampai tiga negara yang saya kunjungi. Ya, setiap benua ada negara yang mewakili menerima kedatangan saya. Kadang-kadang ya mampir ke Antartika, satu-satunya benua yang tidak ada negaranya.

Bagaimana mungkin saya dapat berkunjung ke negara lain tanpa paspor dan visa? Mungkin saja. Saya tinggal ke perpustakaan, mengambil salah satu atau beberapa buku ensiklopedi negara dan bangsa, buku-buku lain tentang negara dan bangsa di dunia, atau atlas, selanjutnya tinggal membuka halaman  negara yang ingin saya kunjungi. Banyak sekali informasi yang saya dapat dari buku-buku itu hingga membuka wawasan saya tentang bangsa-bangsa di dunia.

di sini kita keliling dunia tanpa paspor dan visa
(sumber: thefinancialite.com)
Sesuai dengan bidang pekerjaan, saya selalu berburu informasi tentang keadaan geografis setiap negara yang saya kunjungi. Informasi itu, antara lain letak astronomis, keadaan alam, sumber daya alam, perekonomian, dan kependudukan. Informasi itu tentu sangat berguna saat saya menyunting buku pelajaran geografi yang tema bahasannya tentang negara-negara di dunia. Paling tidak, saya dapat menceritakan negara-negara di dunia kepada orang lain (siswa) melalui buku pelajaran yang saya kerjakan. Siswa pun jadi dapat ikut tahu beberapa negara di dunia, tanpa paspor dan visa seperti saya. Buku menjadi pintu masuk ke setiap negara tanpa pemeriksaan imigrasi.

Ya, saya turut merasakan betapa buku benar-benar memiliki kekuatan. Melalui kekuatannya, buku telah mengajak saya keliling dunia, tanpa harus punya paspor dan visa. Melalui kekuatan buku yang saya kerjakan, saya mengajak sebagian pelajar jalan-jalan ke beberapa negara di dunia, juga tanpa paspor dan visa.

Besok jadwal ke Eropa, ada yang mau ikut?

Salam.

No comments:

Post a Comment